Monday, April 29, 2013
Namaku Awan Hitam. Padakulah Bulan Menggantung
Namanya Bulan. Kadang ia Bulan Sabit. Kadang ia bulan setengah. Kadang ia bulan hampir penuh. Kadang ia bulan bulat sempurna. Namaku Awan Hitam, padakulah ia biasanya menggantung.
Saya pernah mendengar tentang mitos yang mengatakan bahwa pada tubuh Bulan terperangkap seorang anak kecil bersama ibunya. Mereka suka bermain dengan ceria. Kadang ibu menyanyi, si anak kecil menari. Sebaliknya giliran si anak yang menyanyi, ibu akan berdendang.
Bulan tenang-tenang saja. Ia tahu pada tubuhnya hidup ibu dan anak kecil. Sedangkan saya adalah Awan Hitam. Padakulah Bulan menggantung. Dan sudah lama saya menaruh hati pada Bulan. Saya hanya Awan Hitam, saya kadang tidak kelihatan. Bulan yang keperakan terkadang merona ketika saya goda. Ketika tanganku tidak sengaja menyentuh lembut pipi Bulan. Ketika diam-diam saya punya sebuah keinginan sederhana, ingin mencium bibir Bulan.
Diam-diam saya suka membayangkan bibir Bulan. Bentuknya tebal sempurna. Saya suka membayangkan jika, kami saling memagut ketika hujan jatuh. Karena ketika itu, Bulan biasanya menyelip ke dalam sari sari bajuku yang hitam.
Hari yang kutunggu pun tiba. Saya sendiri malu jika mengaku kepada Bulan, bahwa saya sudah lama menginginkannya. Hujan jatuh ketika larut. Bulan masuk ke dalam sari sari bajuku yang hitam kelam. Dan ia bisa melihat tubuhku yang telanjang. Di sana, kami saling memagut. Bibirnya dan bibirku menyatu ketika hujan.
Di sana saya melihatnya, ia lebih perak daripada biasanya. Bulan kini memerah. Ia menggigil dalam pelukanku. Saya bisa merasakan nafas Bulan yang memburu pada helai helai rambutku, Awan Hitam, yang bahkan tidak pernah kelihatan selama ini.
Ibu dan anak kecil yang suka bermain pada tubuh Bulan, mendadak lenyap ketika hujan tiba. Mereka seakan mengerti bahwa, ketika itu Bulan adalah milik Awan Hitam sepenuhnya. Ya, ketika hujan.
Jadi, jika kamu tidak melihat Bulan alpa ketika hari hujan. Ia sedang bersamaku Awan Hitam. Yang biasanya padaku, ia menggantung.
Thursday, April 25, 2013
Surat Cinta?
Saya akan memulai pada kata apa kabar? Apakah baik baik-baik saja? Saya mungkin jarang melakukan ritual berdoa, tapi bukankah kata adalah doa. Tiap saya memikirkan kamu, saya selalu berharap agar kamu baik-baik saja. Sekelilingmu menjagamu. Memastikan kamu tetap aman, nyaman dan tercukupi. Saya selalu berharap agar bahagia menyelubungi tiap lakumu mengepak detik dalam waktu.
Selain memikirkan akan sosok kamu, saya titipkan juga satu point egoku di dalamnya. Saya selalu membayangkan kamu merindukanmu. Ya, saya berharap dan berdoa kamu merindukanmu. Karena saya disini membungkus hari dengan ikatan rindu buat kamu. Rindu seperti belenggu untukku. Ia menyesakkan napas saya. Namun ketika ia tidak membelitku, saya seperti kehilangan sebuah rasa yang menyenangkan.
Bagaimana hari kamu? Jarak telah memisahkan kita. Waktu dalam definisiku tentangmu telah berhenti di sana.
Saya hanya punya kenangan tentang kamu. Tak ada hal baru yang mampu saya pirsakan lagi. Kamu adalah sejak saya mengenalmu. Segala gerak yang berada disekitarmu tak lagi masuk dalam file otakku. Karena kita telah berbeda orbit. Yang saya punya hanyalah kenangan tentangmu. Dan saya hanya punya lapis-lapis memori itu untuk kembali mengingatmu. Saya yakin semua telah berubah. Meskipun saya ataupun kamu menyangkal tak ada yang berubah. Tapi bukankah perubahan adalah sesuatu yang telah dipastikan. Ia adalah satu-satunya yang tak pernah berubah. Kita telah mendiskusikan ini dulu.
Kemudian apa yang ingin saya cerita di sini? Tentangku? Kamu pasti ingin tahu tentangku. Saya akan menceritakanmu dalam bentuk pengandaian. Semestaku berjalan seperti biasa. Bumi bergerak dengan kecepatan konstannya. Saya pun demikian. Kadang tersadar sesaat untuk sedikit bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Atau menyimpang dari keseharusan. Tapi bisa kau bayangkan jika bumi bergerak menyimpang dari kecepatan konstannya. Para makhluk yang berdiam di permukaannya akan pusing. Muntah dan mabuk kendaraan bumi. Tiba-tiba ngerem, tiba-tiba bergerak laju. Akan terjadi Chaos di semesta. Tak hanya bumi dan segala yang melekat secara magnetis di tubuhnya tapi juga pada tata surya dan galaksi bima sakti.
Tampak begitu menyeramkan bukan? Saya mencoba bermeditasi menjadi Bumi. Mencintai langit, Bulan, dan bintang. Bergerak pada keharusan yang telah ditetapkan.
Baru saja saya membaca ulasan tentang Ilmuwan Stephen Hawking di majalah lama punya Bapak. Si jenius yang berkursi roda dan tak mampu bicara itu. Buku terbarunya berjudul “Grand Desain”. Tunggu, biar saya buka kembali tentang tulisan itu. Agar saya tak salah memberi informasi akannya. Cukup kontroversi karena Hawking menyimpulkan bahwa penciptaan semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan Semesta yang banyak ini muncul secara alamiah dari hukum fisika (Tempo 7 November '11, hal 60).
Saya bukanlah penganut agama yang taat, namun saya masih percaya bahwa Tuhan adalah sesuatu zat yang menjadikan alam semesta ini. Saya sepakat dengan Einstein yang mengatakan Tuhan tak bermain dadu dalam penciptaannya. Tapi saya pun tak memiliki kecerdasan sehebat Hawking. Pemikirannya telah melompat begitu jauh. Ia telah melakukan quantum Leap. Susuatu yang tak bisa dilakukan oleh otakku yang pas-pasan. Ketika menarik Tuhan sebagai konklusi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada, maka manusia tidak lagi kritis. Biarlah Hawking yang bertugas mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya cukup setuju pada akhir tulisan tentang Hawking itu, Ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi) dan posisi Hawking adalah salah satunya. Barangkali tepat belaka pandangan keith Ward dalam God,Chance, and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistic (Tempo 7 November '11, hal 60).
Ah, biarlah semua itu dipikirkan oleh para ilmuwan. Saya tak perlu menambah beban pikiranku akan itu. Kapasitas otakku terlalu sedikit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit tersebut. Btw, sampai dimanakah kita? Oh iya, tentang diriku. Seperti biasa akan kujawab dengan singkat dan jelas “baik-baik saja. Hanya sedikit melankolis”. Ya, sifat ini tak pernah bisa lepas dariku. Kamu sangat memahami itu.
Apalagi yang ingin saya tulis di sini? Hmmm…. Sepertinya tak ada lagi. Sejatinya ini adalah surat cinta untuk kamu. Tapi saya tak pernah tahu bagaiman menulis surat cinta itu. Waktu SMP dulu saya hanya sering menerima surat cinta. Tak pernah mengirim kepada orang lain. Isinya pun hanya seputar pertanyaan ‘Apakah aku bersedia menjadi pacar dari sang pengirim surat cinta”. Tapi tidak setransparan itu bahasanya. Mendayu-dayu. Mengutip syair lagu romantis. Memuji setinggi langit. Hahahaha. Saya masih menyimpan satu surat cinta. Kelak jika kita bertemu, saya akan memperlihatkannya padamu.
Saya merindukan masa di mana cinta dikatakan lewat surat. Dititipkan diam-diam di dalam halaman buku atau pada teman dekat. Dituliskan pada kertas bermotif bunga berwarna merah. Sampulnya pun berwarna merah. Baunya wangi karena disemprot parfum. Tapi yang paling saya tunggu adalah sensasi degup jantung yang begitu cepat saat membaca kalimat-kalimatnya. Apalagi jika surat itu datang dari seseorang yang diam-diam juga saya sukai. Membaca hingga akhir kalimat rasanya tidak cukup. Ingin membacanya lagi,lagi, dan lagi. Whoaa!
Hei, apakah kamu pernah menulis surat cinta untuk seseorang? Sesekali menulis suratlah untuk saya. Tak perlu surat cinta. Saya hanya ingin membaca tulisanmu tentangku. Bolehkah ini saya anggap doa?
Hmmm… Kembali pada esensi tulisan yang kusebut surat cinta ini. Ini hanyalah pengistilahan olehku. Agar terkesan sangat indah untukmu. Kamu boleh tak bersepakat. Mungkin karena kamu tak menemukan umbaran kata-kata selangit untukmu. Tapi sesungguhnya ini adalah bahasa cintaku untukmu.
Baiklah jika menginginkannya, saya menuliskannya di kalimat ini saja ya. “Saya rindu kamu. Apa kamu merindukanku juga?”. Semoga kalimat itu sudah cukup sebagai penanda bahwa ini adalah surat cinta.
Sejatinya surat ini haruslah saya kirim lewat pos. Ke tempatmu . Agak susah menitipkannya lewat selipan halaman buku. Karena kita sama-sama tahu bahwa itu mustahil. Semustahil jika saya menitipnya lewat teman dekat.
Tapi dunia telah berubah. Dunia adalah komunikasi digital. Kita hidup di internet. Mengambil sebuah akun yang menjadi alamat rumah. Hanya itu modal alamat yang saya tahu. Tak akan lagi ada sensasi deg-deg-an saat melepas lem perekat sampulnya dengan penuh perasaan. Tak ada lagi rasa penasaran yang membuncah dan meletup begitu hebat. Tapi setidaknya saya tak berbahasa sesingkat SMS atau tweet yang dibatasi karakter dan pulsa. Saya menulis banyak paragraf untukmu. Tiga halaman spasi satu dengan jumlah kalimat lebih dari seribu.
Sejatinya surat ini pun tidak akan saya kirimkan ke email siapapun. Karena ini hanya untuk kamu. Saya sangat senang jika kamu membacanya. Apalagi jika kamu menyempatkan diri membalasnya. Seperti penutup surat yang biasa saya temui. Kali ini saya ingin menutupnya dengan kalimat , empat kali empat enam belas. Sempat tak sempat harus dibalas.(Saya tetap “memaksamu’ untuk membalasnya;). Sudahlah, saya akhiri saja. Waktu telah bergerak begitu jauh dan saya masih sibuk memikirkanmu. Saya menunggu suratmu untukku.
Friday, April 19, 2013
Keputusan Tersulit
Hei KAMU.
Kamu tahu?
Ini sakit loh! Sakit sekali. Seperti mencabut sesuatu yang tertikam dalam-dalam. Tapi ini semua harus dicabut, tidak boleh dibiarkan supaya saya tidak mati berdarah-darah dan lukannya membusuk karena tikaman dalam yang dibiarkan saja supaya saya tidak sakit saat ini.
Saya tidak tahu kenapa. Setelah hari itu berbicara sangat jelas dan klise kamu tidak bisa menjadi sesuatu dalam hidup saya, kamu tidak mau beranjak dari sana. Seolah memberi saya seberkas sinar yang redup padam kadang terang dan redup lagi. Apa kamu tidak sadar saya lelah dengan semuanya...
Saya tahu, munafik kalau bilang saya menganggap semua itu tidak ada dan sia-sia. Bohong, kalau saya tidak pernah menganggap kamu ada. Tapi yang penting sekarang, bagaimana saya menyobek lembaran itu dan menyimpan kenangan yang baik saja tentang kamu dan memulai lembaran baru lagi dengan rasa yang berbeda, aroma yang berbeda, aroma abadi yang tiada berakhir yang bernama lingkaran pertemanan.
Bukankah itu lebih baik? Sangat baik?
Saya tidak usah menunggu dan mengejar, kamu juga tidak usah merasa bersalah seolah memberi harapan. Semuanya sudah klise sangat jelas dan real.
Hari itu kamu membuat semua itu abstrak lagi. Membuat saya terjatuh lagi dan berpikir lagi, saya tidak bisa kehilangan kamu. Sudah terheliosentris dan butuh kamu..
Tapi sekarang saya ingin memberikan keputusan tersulit yang pernah saya buat.
Keputusan yang entah mungkin saya sesali atau saya tangisi dikedepannnya, atau bahkan membuat saya sangat lega dan bebas..
Saya tidak tahu...
Namun apapun yang terjadi saya harus membuat keputusan tersulit ini. Saya memutuskan untuk melepas kamu pergi dan menarik sauhku untuk berlayar lagi. Tidak peduli kamu akan berteriak atau berbisik pada angin untuk menahanku diam. Saya akan tetap pergi...
Saya yakin kamu akan baik baik saja, karena pada awalnya kamu memang tidak akan pernah ada untuk saya... Dan tidak ada rasa untuk saya...
Kalau tidak dengan cara seperti ini, saya akan selalu meminta kamu untuk mencintai saya.. Mungkin tanpa saya sadari semua yang kamu lakukan adalah karena seolah saya meminta atau kamu yang terlalu baik untuk mencoba. Jadi carilah orang yang tidak pernah meminta apa-apa, tapi kamu mau memberikan segala-segalanya. Saya cuma ingin melepas kamu pergi. Sebelum kita berdua berontak, dan jadi saling benci. Atau bersama-sama cuma karena menghargai.
Saya harap kamu mengerti... Jadi bukan karena saya tidak mau melihatmu lagi... Saya mau jadi teman kamu.. Tapi nanti, sampai hati ini bisa yakin bahwa tidak ada perasaan yang keluar dari sana setelah melihatmu lagi.
Saya lelah menahan-nahan rasa dan membebat erat rasa yang keluar meranggas dengan sendirinya. Yang nantinya mungkin akan tumbuh dengan garang mencekik saya karena saya tidak tegas dalam memberi keputusan. Mungkin terdengar terlalu mengaggungkan apa yang dinamakan harga diri. Tetapi saya memang tidak mau membiarkan sakit yang hanya ditunda untuk menjalar. Jadi saya putuskan sekarang untuk tidak menghubungi kamu..
Kamu perlu ingat..
Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Jadi, kalau kamu bilang, kamu nyaman dengan saya dan tidak akan melupakan saya, selamanya kamu tidak akan pernah tulus mencintai saya. Karena perasaan itu beda dengan rasa cinta.. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tahu ke mana harus berlabuh..
Saya percaya suatu saat nanti kita akan bahagia. Kita punya kesempatan untuk dipilih cinta, dan berserah pada aliran yang membawanya. Ke mana pun itu. Hati selalu tahu... Karena cinta dan hati itu sama...
Sama-sama bebas, seolah tanpa tujuan.
Namun, angin selalu bergerak ke satu tempat dan yang kita butuhkan hanya kejujuran. Kejujuran yang seolah bergerak bersama- sama, langit pun mulai merintikkan hujan sampai apa yang lama tak terungkap akhirnya pecah, meretas, dan Bumi melebur bersamanya. Walau sulit sekali, tapi saya melepaskanmu untuk hari ini, esok dan selamanya...
Untuk kesekian kalinya saya bilang, saya sayang kamu, tolong jaga dirimu baik-baik.
Sampai jumpa lagi nanti.
Saturday, April 13, 2013
Teruntuk Kamu yang Saya Kagumi
Selamat pagi kamu...
Tidak penting memikirkan kapan tepatnya saya menyukai kamu.
Tapi yang terpenting sampai hari ini saya masih dan akan terus mengaggumi kamu.
Apakah kamu tahu,
Bisa Mengenalmu itu adalah sesuatu...
Mungkin seperti mengenal candi...
Ada relief-relief yang tiap lekuk berbeda makna. Ada ruang-ruang tersembunyi di dalam. Dihiasi arca-arca yang indah...
Megah...
Saya terhanyut oleh setiap lekukan kamu..
Membuat saya kaget... Ingin lepas tapi ingin melihat lagi jauh kedalam...
Terdapat rahasia pada setiap sisi...
Dari sisi menghadap matahari terbit... Sampai sisi menghadap laut..
Kalau ide itu bisa di ibaratkan sebuah gunung, maka kamu adalah celah celah batu di punggung gunung yang sejuk. Beserta rimbun semak kamu membuatku ingin berlama lama duduk. Berlindung dari panas, dari angin, sejenak menikmati teguk demi teguk air, remah roti ataupun berbotol-botol yogurt. Saya kemudian terjepit diantaranya, diantara ceruk-ceruk itu. Saya akan senang duduk di salah satu batunya, memandang jauh ke bawah, ke bawah jauh dan bukan ke atas. Saya lalu melupakan puncaknya, yang tinggi dan menggairahkan..
Membayangkanmu seluruhnya mengalir... Semua perasaan tertuang... Menggerojok dengan deras... Meletup-letup sehingga sulit untuk dibendung...
Apakah kamu tahu,
Ketika kamu hilang..
Seketika kemampuan itu mati.
Sulit untuk merangkaikan satu unsur menjadi kesatuan seperti biasanya.
Sewaktu ada kamu..
Seperti itulah kamu membunuh ide. Menjungkirbalikkan kosakata, menghapus huruf-huruf yang biasa mengalir dari ujung jari jari.
Lalu tersadar, tidak ada yang lebih menyenangkan melebihi kenyataan... Menuliskan cinta secuil-pun tidak lebih menyenangkan daripada merasakan cinta. Mengucapkan sayang dari mulut ke telinga lebih menyenangkan daripada menuliskan sayang dari jari ke mata, lalu menyayangimu... Kemudian cemburu jauh lebih menyebalkan daripada hanya menulisnya di kertas.
Apakah kamu tahu,
Saya pernah menari-nari di jantung kamu, berusaha dengan sekuat tenaga mendetakkan irama dengan telanjang kaki disana. Supaya menyimpan suaranya disana supaya kamu bisa mendengar.
Saya pernah ada di sudut kerling mata kamu, saya pernah bersembunyi berusaha menciptakan senyum yang berharap tetap disana selamanya. Walau hanya disudut matamu saja saya menaruh bayanganku.
Saya pernah mencoba bermain di kepalamu, bermain ayunan, menelusuri prosotan meluncur dan turun di hati. Sesampainya disana, ada trampolin. Dengan paksa saya harus menaruh bayanganku dimata supaya kamu melihat saya... Dengan susah payah saya mencoba melompat-lompat dengan riang dan begitu lelah saya segera ke lenganmu. Disitu hangat, saya suka...
Saya juga sering bermain di telingamu. Saya mengalirkan suara dan membiarkannya menggema di sana. Entah iseng mengeja namamu, cerewet mengingatkanmu, berbisik manja, atau menyanyikan melodi rindu.
Kamu kira saya bercanda? Kali ini saya tidak bercanda.
Saya juga sering mengunjungi mata kaki kamu, disitu saya akan membawa kamera, saya potret langkah-langkah yang kamu pijak, kemanapun di seluruh dunia. Mencoba menyelami duniamu karena disana saya mau saya ada...
Saya juga suka duduk duduk di sela jemari kamu. Di situ daerah hangat kedua setelah lenganmu. Maaf, saya suka tak sengaja tertidur disana.
Jadi, sadarkah kamu?
Ada saya yang mencoba menjejaki semuamu.
Ada saya yang ingin menjadi udaramu.
Tuesday, April 9, 2013
Saya dan Kamu yang Tidak akan Pernah Dapat Menjadi Kita
Pagi ini...
Masih berkabut. Saya masih mencoba katupan mata. Pikiranku sudah berpendar kemana-mana, tapi yang kutemukan hanya sepi. Tidak seperti kemarin kemarin. Tidak seperti pagi yang lalu. Karena kamu...
Menghilang seperti kabut. Meninggalkan setitik air yang menghangat. Berbeda dengan embun yang menyegarkan daun. Tetapi kamu meninggalkan se-jentik air yang menghangat di pelupuk mata.
Pagi ini.
Masih berkabut. Saya coba membuang kebiasaan itu. Kebiasaan yang menyebalkan sewaktu saya masih bersamamu. Tetapi sekarang ada setitik rindu yang terbangun namun sadar kamu sudah lenyap. Saya mencoba untuk mengkira-kira apa yang kamu lakukan pagi ini. Apakah masih sama seperti biasa atau kamu melakukan hal yang lain. Kamu sering berkata jangan suka mengira, gunakan kontemplasi-mu saja. Tapi kamu harus tau, inilah saya... Hidup dengan membayangkan. Tanpa berani bertanya langsung padamu, sedang apakah kamu pagi ini?
Apakah kamu...
Duduk menghadap jendela kamarmu yang terbuka. Pikiranmu menerawang sambil menutup mata. Membiarkan pohon dan udara haru menyaksikan hari-hari lampau bergetar di jari-jari, lengan, dan bahumu. Memikirkan saya...
Sayang, kamu bukanlah saya. Tidak ada sedikitpun saya dalam rongga kepalamu. Tidak seperti saya yang menghabiskan waktu, memikirkan sedang apa kamu dikamarmu, apa kamu mengingatku, apa warna bajumu hari ini, apa kamu memimpikanku.
Ataukah pagi ini kamu...
Mandi dan menangis merasakan air kedinginan dan kesepian luar biasa, seperti sayupan rindu pohon-pohon kepada daun-daunnya yang hanyut di air kali dan tersangkut entah di mana sambil meresahkanku dalam kejauhan ini.
Sayang, kamu bukanlah saya. Tidak ada sedikitpun saya bahkan dalam aliran air mandimu. Yang kamu pikirkan bagaimana saya tidak terlambat hari ini. Tidak seperti saya yang menangis dalam diam gemericik air hangat dan sabun tidak bisa menyembunyikan rasa kehilanganku padamu. Sebelum dan sesudah ini akan sama saja. Sepi...
Karena tidak ada kamu.
Atau asumsiku benar pagi ini...
Kamu belum bangun dari tempat tidur dengan selimut penuh buah ceri yang menguak di bagian dada. Di langit-langit kamarmu, neon yang belum tidur kamu bayangkan sebagai mataku yang memendarkan kenangan.
Sayang, bahkan warna selimutmu saya pun belum tahu. Saya ingin bertanya namun kamu tidak mau menjawab. Tidak mau mengenal saya lagi. Saya terlalu berharap. Mendengar kisahmu seharian. Mengeluh padaku. Menceritakan separuh bebanmu. Saya rela, saya rela mendengarkannya. Tetapi bahkan kenangan itupun tidak ada. Tidak ada wajahku di lampu tidurmu. Tidak pernah ada.
Atau, kalau saya boleh berharap, bermimpi...
Kamu sedang duduk membuka komputer, membaca tulisan ini, dan menemukan kita pada setiap kata, dan kamu tersenyum. Menemukan kisah kita dalam tulisan saya. Dan tahu siapa saya dan siapa kamu.
Sayang, itu cuma harapan, mimpi. Bahkan mengingat namaku saja membutuhkan waktu 3 menit. Tidak seperti saya yang selalu terkena elektra menyengat setiap saja melihat namamu.
Saya tahu kita ada dalam dunia yang berbeda...
Sehingga saya dan kamu tidak bisa menjadi kita...
Tapi saya minta..
Bolehkah saya memunguti setiap kenangan yang ada dan menyatukan dalam bingkai?
Setelah itu saya akan kunci dan saya akan buang kuncinya itu jauh jauh.
Supaya tidak akan ada lagi kita..
Yang ada hanyalah saya yang tidak tahu siapa itu kamu.
Friday, April 5, 2013
Kenapa Jatuh Cinta
Kenapa disebut “jatuh cinta” kenapa bukan “bangun cinta” atau “bangkit cinta” sebuah pertanyaan ini muncul dari seorang teman, awalnya iseng tapi dia lalu menantang saya untuk menuliskannya.
Kembali ke kata “jatuh” pada kata “jatuh cinta” di wikipedia menulis seperti ini:
In romantic relationships, falling in love is mainly a Western concept of moving from a feeling of neutrality towards a person to one of love. The use of the term "fall" implies that the process is in some way inevitable, uncontrollable, risky, irreversible, and that it puts the lover in a state of vulnerability, in the same way the word "fall" is used in the phrase "to fall ill" or "to fall into a trap". The term is generally used to describe an (eventual) love that is strong.
Maka terjemahan bebasnya adalah: “jatuh cinta” adalah sebuah konsep yang mengubah perasaan netral seseorang kepada seseorang lainnya karena cinta. Kata “jatuh” sendiri menyiratkan sebuah proses yang tidak terelakkan, tidak dapat dikontrol, beresiko, dan ireversibel. Dalam hal ini kita bisa menempatkan kekasih kita dalam keadaan rentan. “jatuh cinta” juga sama dengan “jatuh sakit” atau “jatuh dalam perangkap”. Istilah “jatuh cinta” juga sering sekali digunakan untuk mengungkapkan perasaan yang kuat terhadap seseorang.
Kesimpulan saya: kata “jatuh” biasanya terjadi kepada sesuatu/seseorang yang kehilangan keseimbangan atau tidak punya pertahanan yang kuat. Sayang sekali kita tidak bisa mengontrol perasaan ini. Sehingga kita selalu “jatuh”.
Begitupun dengan saya, saya akan “jatuh cinta” ketika tidak punya pertahanan yang kuat. Kekasih yang saya jatuhi pun tidak punya pertahanan ini. Sebaliknya ketika kekasih saya “jatuh cinta” terhadap saya. Dia pun tidak punya pertahanan yang kuat.
Anggap saja kekasih saya adalah hujan. Ketika hujan “jatuh”, dia tidak punya pertahanan yang kuat. Tapi dia percaya bahwa bumi dan tanah akan menerimanya. “jatuh cinta” mengandung resiko: diterima atau tidak diterima. Kalau tidak diterima ada kemungkinan kita mengalami “luka cinta” karena kata “jatuh” resikonya adalah “luka.”
Anak kecil yang sedang belajar berjalan pun sering “jatuh” ketika merangkak, lalu berjalan. Tetapi mereka menyenanginya. Karena ketika dia tidak “jatuh”, sampai kapanpun dia tidak akan belajar berjalan.
Sampai di titik ini, kesimpulan saya—bukan akhir dari segala sesuatu:
Ketika “jatuh” sudah resiko kamu akan terluka. Tetapi tanpa “jatuh” dan menjadi “luka” sampai kapanpun kamu tidak akan pernah belajar sesuatu.
Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika kita “falling into love” atau “jatuh cinta” saya akan memilih untuk “jatuh” kepada “cinta” ketimbang “jatuh” kepada “obat-obat terlarang” atau pun “minuman keras”.
“jatuh cinta” yang menyebabkan “luka cinta” tidak akan membuat hidupmu berakhir atau mati. Itu hanya fase hidup. Kita nama-kan saja fase belajar.
Setelah “jatuh” “luka” yang perlu kamu lakukan adalah belajar membalut luka itu sendiri atau dengan bantuan orang lain.
Terakhir, berani untuk “jatuh cinta” sebanyak mungkin.
Jangan terlalu percaya kata-kata saya. Percayalah kata hatimu sendiri.
Monday, April 1, 2013
Hai Kamu
Jatuh cinta kepadamu itu begitu menyenangkan, seperti meringkuk dalam selimut hangat pada malam yang hujan. Seperti menemukan keping terakhir puzzle yang sedang kamu susun. Cinta ini sudah berada di tempat yang seharusnya, diruang hatimu dan hatiku.
Namun, kenapa resah dan tembok yang sengaja kita buat diantara kita itu yang justru merajai kita? Padahal, katanya cinta sanggup menjaga. Aku ingin kamu tahu, diam-diam, aku selalu menitipkan harapan yang sama ke dalam beribu-ribu rintik hujan ketika hujan datang:
Aku ingin hari depanku selalu bersamamu.
Aku mencintaimu. Selalu.
Dan, mereka tak perlu tahu... Mungkin termasuk kamu juga.
Posted via Blogaway
Hujan yang Kurang Ajar!
Ah! Tidak bermaksud untuk menyumpah-serapahi sang hujan. Dalam lamunan ketika hujan, saya selalu memikirkan sesuatu yang random. Hubungan-hubungan yang telah lalu. Wajah kekasih yang kemarin, yang telah pergi meninggalkanku. Lalu bau tubuhnya. Dan kenangan.
Dan katanya ketika hujan turun selalu membawa banyak memori berhamburan di kepala. Memori-memori itu lalu mengepul-ngepul seperti hangatnya kopi yang baru saja disajikan. Mereka tiba-tiba muncul seperti baru.
Seperti baru kemarin kamu mengalaminya. Tetapi mereka datang begitu saja berhamburan di kepalamu. Mungkin tepat ketika banyak orang mengatakan bahwa ketika hujan, itu akan menjadikan kita lebih melankolis daripada biasanya.
Ya, ini soal kekasih. Berulang-ulang kali saya selalu diingatkan oleh Ibu, bahwa hati-hati memilih kekasih. Hati-hati ketika jatuh hati. Karena ini bukan persoalan yang sederhana. Bahwa seringkali cinta selalu mengubah manusia menjadi seseorang yang tidak menyenangkan. Dan hal ini memang benar adanya ketika, urusan hati yang tidak benar itu akan membuat kita juga akan rungsing di luar.
Lalu suatu ketika aku bertanya kepada Ibu. Apa Ibu juga pernah rungsing soal cinta. Iya katanya. Waktu itu ketika Bapak sedang bertugas menjaga perbatasan di Timor Timur, Ibu sempat punya teman dekat laki-laki selain Bapak. Tetapi yang sayangnya dia yang dekat itu terlambat untuk melamarnya. Jadinya Ibu menikah dengan Bapak tak lama sekembalinya Bapak ke Jakarta dari tugasnya. Kalau waktu itu Ibu menikah dengan “Om-Siapa-Itu-Namanya” mungkin sekarang ini tidak ada saya.
Jadi sebenarnya persoalan dulu itu sederhana saja. Hanya soal siapa cepat dan dia yang dapat. Begitu pikir saya. Sedangkan sekarang lebih sulit. Bukan masalah siapa cepat. Tetapi siapa yang bisa meyakinkan.
Laki-laki yang punya keyakinan akan dirinya akan mampu meyakinkan orang lain, akan mampu meyakinkan kekasihnya untuk hidup bersamanya. Sayang sekali laki-laki yang seperti itu jarang ditemukan di jaman digital sekarang ini.
Saat ini yang saya perhatikan adalah banyak laki-laki yang penakut (atau pengecut?). Mereka tidak percaya sama diri mereka sendiri dan itu yang membuat mereka sulit percaya kepada orang lain. Bisa seperti itu atau bisa juga itu semua karena saya selalu punya ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap orang lain.
Kembali ke hujan. Mungkin hal-hal dan pemikiran seperti ini datang hanya ketika hari sedang hujan. Membuat saya kepada melankoli yang terlalu berlebihan. Nah, bisa jadi saya juga dipermainkan oleh hujan.
Hujan yang kurang ajar! Yang buat saya rindu masa lalu.
Posted via Blogaway
Subscribe to:
Posts (Atom)