»

Thursday, April 25, 2013

Surat Cinta?


Saya akan memulai pada kata apa kabar? Apakah baik baik-baik saja? Saya mungkin jarang melakukan ritual berdoa, tapi bukankah kata adalah doa. Tiap saya memikirkan kamu,  saya selalu berharap agar kamu baik-baik saja. Sekelilingmu menjagamu. Memastikan kamu tetap aman, nyaman dan tercukupi. Saya selalu berharap agar bahagia menyelubungi tiap lakumu mengepak detik dalam waktu.

Selain memikirkan akan sosok kamu,  saya titipkan juga satu point egoku di dalamnya. Saya selalu membayangkan kamu merindukanmu. Ya, saya berharap dan berdoa kamu merindukanmu. Karena saya disini membungkus hari dengan ikatan rindu buat kamu. Rindu seperti belenggu untukku. Ia menyesakkan napas saya. Namun ketika ia tidak membelitku, saya seperti kehilangan sebuah rasa yang menyenangkan.

Bagaimana hari kamu? Jarak telah memisahkan kita. Waktu dalam definisiku tentangmu telah berhenti di sana.

Saya hanya punya kenangan tentang kamu. Tak ada hal baru yang mampu saya pirsakan lagi. Kamu adalah sejak saya mengenalmu. Segala gerak yang berada disekitarmu tak lagi masuk dalam file otakku. Karena kita telah berbeda orbit. Yang saya punya hanyalah kenangan tentangmu. Dan saya hanya punya  lapis-lapis memori itu untuk kembali mengingatmu. Saya yakin semua telah berubah. Meskipun saya ataupun kamu menyangkal tak ada yang berubah. Tapi bukankah perubahan adalah sesuatu yang telah dipastikan. Ia adalah satu-satunya yang tak pernah berubah. Kita telah mendiskusikan ini dulu.

Kemudian apa yang ingin saya cerita di sini? Tentangku? Kamu pasti ingin tahu tentangku. Saya akan menceritakanmu dalam bentuk pengandaian. Semestaku berjalan seperti biasa. Bumi bergerak dengan kecepatan konstannya. Saya pun demikian. Kadang tersadar sesaat untuk sedikit bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Atau menyimpang dari keseharusan. Tapi bisa kau bayangkan jika bumi bergerak menyimpang dari kecepatan konstannya. Para makhluk yang berdiam di permukaannya akan pusing. Muntah dan mabuk kendaraan bumi. Tiba-tiba ngerem, tiba-tiba bergerak laju. Akan terjadi Chaos di semesta. Tak hanya bumi dan segala yang melekat secara magnetis di tubuhnya tapi juga pada tata surya dan galaksi bima sakti.
Tampak begitu menyeramkan bukan? Saya mencoba bermeditasi menjadi Bumi. Mencintai langit, Bulan, dan bintang. Bergerak pada keharusan yang telah ditetapkan.

Baru saja saya membaca ulasan tentang Ilmuwan Stephen Hawking di majalah lama punya Bapak. Si jenius yang berkursi roda dan tak mampu bicara itu. Buku terbarunya berjudul “Grand Desain”. Tunggu, biar saya buka kembali tentang tulisan itu. Agar saya tak salah memberi informasi akannya. Cukup kontroversi karena Hawking menyimpulkan bahwa penciptaan semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan Semesta yang banyak ini muncul secara alamiah dari hukum fisika (Tempo 7 November '11, hal 60).

Saya bukanlah penganut agama yang taat, namun saya masih percaya bahwa Tuhan adalah sesuatu zat yang menjadikan alam semesta ini. Saya sepakat dengan Einstein yang mengatakan Tuhan tak bermain dadu dalam penciptaannya. Tapi saya pun tak memiliki kecerdasan sehebat Hawking. Pemikirannya telah melompat begitu jauh. Ia telah melakukan quantum Leap. Susuatu yang tak bisa dilakukan oleh otakku yang pas-pasan. Ketika menarik Tuhan sebagai konklusi jawaban dari  pertanyaan-pertanyaan yang ada, maka manusia tidak lagi kritis. Biarlah Hawking yang bertugas mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya cukup setuju pada akhir tulisan tentang Hawking itu, Ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi) dan posisi Hawking adalah salah satunya.  Barangkali tepat  belaka pandangan keith Ward dalam God,Chance, and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistic (Tempo 7 November '11, hal 60).

Ah, biarlah semua itu dipikirkan oleh para ilmuwan. Saya tak perlu menambah beban pikiranku akan itu. Kapasitas otakku terlalu sedikit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit tersebut. Btw, sampai dimanakah kita? Oh iya, tentang diriku. Seperti biasa akan kujawab dengan singkat dan jelas “baik-baik saja. Hanya sedikit melankolis”. Ya, sifat ini tak pernah bisa lepas dariku. Kamu sangat memahami itu.

Apalagi yang ingin saya tulis di sini? Hmmm…. Sepertinya tak ada lagi. Sejatinya ini adalah surat cinta untuk kamu. Tapi saya tak pernah tahu bagaiman menulis surat cinta itu. Waktu SMP dulu saya hanya sering menerima surat cinta. Tak pernah mengirim kepada orang lain. Isinya pun hanya seputar pertanyaan ‘Apakah aku bersedia menjadi pacar dari sang pengirim surat cinta”. Tapi tidak setransparan itu bahasanya. Mendayu-dayu. Mengutip syair lagu romantis. Memuji setinggi langit. Hahahaha. Saya masih menyimpan satu surat cinta. Kelak jika kita bertemu, saya akan memperlihatkannya padamu.

Saya merindukan masa di mana cinta dikatakan lewat surat. Dititipkan diam-diam di dalam halaman buku atau pada teman dekat. Dituliskan pada kertas bermotif bunga berwarna merah.  Sampulnya pun berwarna merah. Baunya wangi karena disemprot parfum. Tapi yang paling saya tunggu adalah sensasi degup jantung yang begitu cepat saat membaca kalimat-kalimatnya. Apalagi jika surat itu datang dari seseorang yang diam-diam juga saya sukai. Membaca hingga akhir kalimat rasanya tidak cukup. Ingin membacanya lagi,lagi, dan lagi. Whoaa!

Hei, apakah kamu pernah menulis surat cinta untuk seseorang? Sesekali menulis suratlah untuk saya. Tak perlu surat cinta. Saya hanya ingin membaca tulisanmu tentangku. Bolehkah ini saya anggap doa?
Hmmm… Kembali pada esensi tulisan yang kusebut surat cinta ini. Ini hanyalah pengistilahan olehku. Agar terkesan sangat indah untukmu. Kamu boleh tak bersepakat. Mungkin karena kamu tak menemukan umbaran kata-kata selangit untukmu. Tapi sesungguhnya ini adalah bahasa cintaku untukmu.

Baiklah jika menginginkannya, saya menuliskannya di kalimat ini saja ya. “Saya rindu kamu. Apa kamu merindukanku juga?”. Semoga kalimat itu sudah cukup sebagai penanda bahwa ini adalah surat cinta.
Sejatinya surat ini haruslah saya kirim lewat pos. Ke tempatmu . Agak susah menitipkannya lewat selipan halaman buku. Karena kita sama-sama tahu bahwa itu mustahil. Semustahil jika saya menitipnya lewat teman dekat.

Tapi dunia telah berubah. Dunia adalah komunikasi digital. Kita hidup di internet. Mengambil sebuah akun yang menjadi alamat rumah. Hanya itu modal alamat yang saya tahu. Tak akan lagi ada sensasi deg-deg-an saat melepas lem perekat sampulnya dengan penuh perasaan. Tak ada lagi rasa penasaran yang membuncah dan meletup begitu hebat. Tapi setidaknya saya tak berbahasa sesingkat SMS atau tweet yang dibatasi karakter dan pulsa. Saya menulis banyak paragraf untukmu. Tiga halaman spasi satu dengan jumlah kalimat lebih dari seribu.

Sejatinya surat ini pun tidak akan saya kirimkan ke email siapapun. Karena ini hanya untuk kamu. Saya sangat  senang jika kamu membacanya. Apalagi jika kamu menyempatkan diri membalasnya. Seperti penutup surat yang biasa saya temui. Kali ini saya ingin menutupnya dengan kalimat , empat kali empat enam belas. Sempat tak sempat harus dibalas.(Saya tetap “memaksamu’ untuk membalasnya;). Sudahlah, saya akhiri saja. Waktu telah bergerak begitu jauh dan saya masih sibuk memikirkanmu. Saya menunggu suratmu untukku.

No comments:

Post a Comment